Kausalitas atau prinsip sebab-akibat
merupakan fenomena yang sering bahkan hampir selalu kita temui dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagai contoh orang yang pintar dan memiliki nilai baik adalah
mereka yang sering belajar pun sebaliknya. Matahari yang selalu terbit dari
timur dan tenggelam di barat juga merupakan sebuah kontinuitas dari ketetapan/hukum Tuhan
di muka bumi ini. Hal ini yang kita sebut sebagai sunatullah. Sama halnya
jika kita tarik dalam ranah ilmu filsafat, sebuah sebab akan menimbulkan sebuah akibat dan
terus ditarik ke atas hingga menuju prima kausa atau sebab pertama di mana
tidak ada sebab lain yang mendahuluinya. Sekilas tidak ada yang salah bukan dengan
ilmu dan ketetapan ini?
Namun jika kita cermati lebih
mendalam, bagaimana mungkin Tuhan dengan segala sifat Maha-Nya diharuskan terus-menerus tunduk
dalam sesuatu yang monoton? Jika satu sebab pasti akan menghasilkan satu akibat
yang sama secara berulang-ulang, apakah alam semesta ini sesimpel itu? Tentu jawabannya
tidak. Kita bisa melihat seorang yang menempuh pendidikan di jurusan yang sama,
materinya sama, pengajarnya sama, dan waktunya pun sama, namun memiliki hasil
yang berbeda di kemudian hari. Pun sebaliknya, ada orang yang menempuh
pendidikan di mana-mana dan akhirnya mendapatkan hasil yang sama, misal akhirnya
memiliki jabatan atau bekerja di tempat yang sama. Lalu bagaimana menyikapi
fenomena demikian?
Kita sebagai orang yang memiliki kepercayaan
akan kebesaran Tuhan tentu akan melihat bahwa tidak ada sesuatu yang tidak
mungkin bagi Tuhan, dalam hal ini adalah Qudrah (kuasa) dan Iradah (kehendak)-Nya.
Tuhan sendirilah yang membuat adanya kausa terjadi di alam ini, namun itu tidak
membatasi-Nya dengan mengharuskan Dia untuk tunduk pada aturan tersebut. Jangan sampai menghilangkan-Nya dari sifat-sifat terpuji termasuk Qudrah dan Iradah. Maka,
Dia bebas melakukan apapun dan berkuasa untuk melakukan apapun yang tidak
sesuai dengan hukum alam pada umumnya.
Sebagai contoh mudah adalah orang-orang
kaya biasanya memiliki gawai merk tertentu dengan harga fantastis. Akan tetapi
apabila ada orang kaya raya yang memang lebih memilih membeli gawai dengan harga
rendah, apakah itu tidak diperbolehkan? Tentu tidak masalah. Suka-suka dia yang
memiliki uang itu mau dibelikan apa. Hanya saja sebagai khalayak umum melihat
itu sebagai sebuah tidak-laziman. Jika manusia saja mampu memilih untuk berbeda
dari kaidah sosial masyarakat, lalu bagaimana dengan Tuhan? Tentu akan sangat
bisa dan mampu. Hal ini yang mungkin ke
depan kita kenal sebagai mukjizat bagi para nabi, karamah bagi para Wali,
maupun ma’unah (pertolongan) dari Tuhan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Sebenarnya kekeliruan berpikirnya bukan pada percaya atau tidak dengan sunnatullah, namun pemikiran kita yang membatasi dan membelenggu Tuhan pada apa yang kita kenal sebagai sunnatullah hingga lupa bahkan menafikkan-Nya dari sifat seperti Qudrah dan Iradah. Kesalahan kita juga adalah karena mempersepsikan Tuhan sebagaimana kita adalah makhluk yang tunduk pada hukum yang ada. Padahal Tuhan dengan segala sifat Maha-Nya tak dapat dibatasi oleh apapun. Namun, apa yang Dia putuskan dan terjadi di dunia ini adalah semata-mata memudahkan kita dalam berpikir dan wujud kasih dan sayang-Nya kepada para ciptaan-Nya.
Beberapa pendapat di atas diambil dari Imam Ghazali dan Imam Fakhruddin Ar-Razi yang mengoreksi pandangan para filsuf terkait dengan hukum sebab-akibat yang dinisbatkan pada alam semesta sekaligus kepada Tuhan. Seakan-akan Tuhan harus mematuhi hukum alam yang telah dibuatnya dan menghilangkan Qudrah dan Iradah-Nya.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa pentingnya mengetahui hal ini? Bagaimana pentingnya implementasi dalam kehidupan sehari-hari? Penulis akan memaparkan sudut pandang pengaplikasian kaidah ini dalam kehidupan sehari-hari di lain waktu, insyaallah. Wallahu a’lam bishawab.
08 Oktober 2023
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances