Media sosial sedang dihebohkan dengan fenomena Quarter Life Crisis  (QLC), apa itu QLC? QLC adalah sebuah fenomena yang menjadi topik...

Quarter Life Crisis/Qonaah Life Cycle ?

    

Media sosial sedang dihebohkan dengan fenomena Quarter Life Crisis (QLC), apa itu QLC? QLC adalah sebuah fenomena yang menjadi topik menarik di media dan juga terkenal sebagai tantangan menuju kedewasaan (Rosen, 2019). Remaja menuju dewasa usia kisaran 18-30 tahun merupakan usia rata-rata dimana terjadi QLC ini. Tanda dari QLC ini dapat diketahui melalui sosial media terutama Twitter dan menjadi sangat tren di kalangan remaja Persemakmuran Inggris Raya dan Amerika Serikat (Agarwal et al, 2020). Tandai seseorang sedang mengalami QLC adalah banyak membahas mengenai kegagalan, pengangguran, putus sekolah, putus cinta, stuck pada suatu keadaan, dan banyak kata lain yang cenderung pesimis serta tidak percaya akan kemampuan diri sendiri (Robinson, 2019).
Ketika dicermati lebih jauh, cukup banyak juga mereka yang bercerita dan membahas tentang “aku”. Prinsip ke-aku-an menjadi sangat terasa jika kita sudah memasuki ranah ini. Seolah center dari dunia ini adalah aku dan kalian semua adalah figuran. Memang masalah ini belum cukup menjadi tren di kalangan pemuda Indonesia, akan tetapi mereka yang rajin bermain Twitter pasti sudah mengetahui apa itu QLC. Apa yang menjadi masalah utama dari remaja di Indonesia? Apa sebenarnya hal yang menjadi sebuah kesedihan mendalam? Bisa saya katakan kegagalan dan iri ketika melihat keberhasilan orang lain merupakan momok mengerikan remaja di Indonesia. Bukan tanpa alasan karena saya sendiri pernah mengalami itu dua tahun silam. Tahun dimana seakan dunia “saya” sudah berakhir. Kegagalan bertubi-tubi tiada henti menjadi penyerang utama hati bahkan hampir sampai pada keraguan pada kebenaran Illahi. Ditambah dengan hasil gemilang dari teman-teman seperjuangan yang seakan mulus tanpa hambatan. Bagaimana dia bisa mencapai titik itu sedangkan “aku” tertinggal seribu bahkan dua ribu langkah di belakang mereka semua.
Mungkin yang akan saya bahas kebanyakan adalah tentang kegagalan masuk universitas, namun tidak ada salahnya bagi pembaca untuk menganalogikan bahasan saya sesuai dengan situasi dan keadaan masing-masing karena tulisan ini bukan tentang saya melainkan kalian sendiri. Ya, bisa saya sebut tulisan ini adalah tentang kalian. Bagaimana? Aneh bukan? Biasanya ketika kita berbicara panjang lebar bahkan disertai dengan tinggi sekalipun, pembahasan utama adalah tentang saya, aku, dan apapun yang terkait denganku. Seolah tanpa adanya aku, dunia tidak baik-baik saja. Pernahkah kalian menulis demi orang lain? Melakukan sesuatu demi orang lain? Jika iya, saya ucapkan selamat karena anda sudah selangkah untuk menjalani QLC. Sesuai judul tulisan ini, Qonaah Life Cycle.
Jika kita berangkat dari salah satu hadis nabi yang terjemahnya berbunyi, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain” maka kita akan mengetahui bahwa orang paling mulia di dunia ini tidak meng-aku-kan diri. Mungkin jika saya yang memiliki kedudukan kuat seperti beliau, yang kata-katanya akan dijadikan pedoman bagi orang lain, dan pastinya orang itu akan menurutinya, jelas akan saya katakan “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagiku”. Nabi tidak pernah meng-aku-kan diri kecuali sebagai seorang hamba Allah, utusan Allah, dan apapun yang mengukuhkan bahwa beliau adalah bukan siapa-siapa dan tidak mempunyai daya apa-apa kecuali pertolongan Tuhan. Namun, justru dengan sikap ini kita memandang beliau sebagai seorang yang mulia dan berkedudukan. Jika berperilaku demikian, apapun pemberian Tuhan akan diterima dengan lapang dada dan tanpa sedikitpun mempertanyakan keputusan-Nya. Bahkan suatu saat, nabi berdoa dan tidak dikabulkan oleh Allah. Bukan karena tidak dicintai Allah, namun untuk membuktikan bahwa nabi yang orang paling mulia dan tidak pernah berdosapun bisa doanya tidak dikabulkan, apalagi hanya kita yang derajatnya jauh di bawah nabi.
Bandingkan sifat ini dengan kita. Merasa bahwa kita mempunyai kemampuan di atas manusia rata-rata lalu hanyut terbawa dalam lautan nista kesombongan. Celakanya ada yang sampai berpikir bahwa kita melakukan semua hal semata-mata karena kemampuan alami dan tanpa bantuan Tuhan. Hei, siapa yang memberimu kemampuan jika bukan Tuhan? Dengan sikap yang seolah menjadi orang yang tinggi ini justru kita akan dikucilkan dan dianggap rendah oleh orang lain apabila orang tersebut mengetahuinya. Beruntunglah kita karena sikap tinggi ini tidak kita beberkan kepada orang lain dan hanya terkunci dalam benak nurani yang sekelibat saja muncul saat diri sedang termenung. Aneh bukan? Ketika kita merasa rendah justru orang memandang tinggi, namun begitu pula sebaliknya.
Apa kaitannya dengan QLC ini? Ketika kita memandang semua hanya tentang aku dan keuntungan bagiku tanpa menghiraukan kehadiran kalian, maka akan sulit untuk bisa menjadi orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Dengan demikian juga semakin sulit untuk menjadi sebaik-baik orang seperti yang dikatakan nabi. Darimana akar masalahnya? Kita merasa dan selalu berkata “aku” ketika tidak puas akan keputusan Tuhan. Dalam bahasa agama, kita tidak bersyukur dengan nikmat yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Menjadi gagal itu adalah keputusan Tuhan. Apakah Tuhan kejam? Tidak, itu semata-mata agar kita mau untuk belajar, merenung, mengkerdilkan diri di hadapan-Nya, dan tentunya introspeksi diri. Bukan keputusan Tuhan yang salah, mungkin adalah salah satu sikap atau sifat kita yang salah dan kita tidak menyadarinya. Kesombongan kah, tamak kah, pelit kah, atau apapun sifat buruk yang selama ini kita lakukan namun tidak kita sadari. Tuhan baik karena hendak menyadarkan kita untuk tidak melakukannya kembali, agar tidak terlarut dalam kenistaan dosa, dan tentunya agar tidak mendapat balasan-Nya di akhirat nanti.
Ketika kita bisa menerima setiap keputusan Tuhan atau qonaah dalam bahasa Arab, insyalllah kita tidak akan merasa mengalami krisis dalam hidup kita. Kita akan selalu merasa cukup terutama pada masa remaja ketika kita sedang diberi nikmat berupa kesehatan, kekuatan, dan mantapnya pemikiran-pemikiran yang banyak orang terlena karenanya sehingga selalu berpikir bahwa aku hebat, aku kuat, aku tangguh, semua bisa kulakukan dengan kemampuanku. Dengan sikap ini, jika bisa melakukan sebuah hal kita tidak sombong dan jika gagal dalam suatu pencapaian kita tidak jatuh dalam penderitaan dan rasa insecure karena sejatinya kita paham bahwa memang kita bukan siapa-siapa. Dengan demikian, kita tidak mementingkan diri sendiri dan selalu berbuat baik ataupun menebar manfaat kepada orang lain karena sudut pandang kita sudah bukan tentang “aku” melainkan tentang kalian. Bukan lagi kulakukan perbuatan ini semata-mata untuk keuntunganku, melainkan aku melakukan ini untuk kalian. Untuk itu kita bisa melawan QLC dengan QLC. Dan dengan QLC yang kedua ini semoga kita bisa mewujudkan apa yang disampaikan nabi tentang menjadi manusia terbaik. Dengan demikian apakah kita tidak boleh mengejar suatu tujuan? Maaf, tulisan ini sudah terlalu panjang dan mungkin pembahasan tersebut masih terkorelasi dengan salah satu tulisan saya yang berjudul NKCTHI. Semoga bisa bermanfaat.

Salam cinta dan kasih dari penulis
Yogi Tri Sumarno

28 Maret 2020

Referensi:
1. Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O. C., Dunn, A., & Ungar, L. H. (2020). Examining the phenomenon of quarter-life crisis through artificial intelligence and the language of Twitter. Frontiers in Psychology11.
2. Robinson O. C. (2019). A longitudinal mixed-methods case study of quarter-life crisis during the post-university transition: locked-Out and Locked-In forms in combination. Emerg. Adulth. 7 
3. Rosen E. (2019). The Radical Sabbatical: The Millennial Handbook to the Quarter Life Crisis. London: John Catt.

0 komentar:

          Tahun 2018 sudah memasuki bulan Agustus, bulan dimana masa-masa pendaftaran untuk PTN sudah mulai berakhir dan bagi para mahasisw...

Antara Benci, Sayang, atau Sangat Sayang ?

    

    Tahun 2018 sudah memasuki bulan Agustus, bulan dimana masa-masa pendaftaran untuk PTN sudah mulai berakhir dan bagi para mahasiswa baru akan
lekas meninggalkan masa terindah SMA mereka menuju belantara kehidupan perkuliahan. Perjalanan kehidupan memang baru saja dimulai, namun bagaimana dengan mereka yang
masih belum diberi kesempatan mendapatkan apa yang dicita-citakan ?
Di satu sisi sebagai kawan, hendak rasanya menghibur mereka yang bisa dibilang kurang beruntung, namun di sisi lain takut dikira sombong atau "dumeh".
Bahkan dari sisi orang yang gagal pun jelas sangat malas untuk mendengarkan ocehan teman yang tidak ikut merasakan pahitnya kenyataan. Oleh karena itu, saya di sini tidak ingin ceramah ataupun menasehati.
saya hanya ingin berbagi cerita hiburan satu arah kepada para pembaca berdasarkan pemikiran sekaligus pengalaman saya.

    Kata hebat tersemat bukan kepada mereka yang ada di kedokteran, pertambangan, peternakan, pertanian, maupun ilmu Alam.
Justru ketertarikan dan kekaguman saya terletak pada mereka yang dikatakan oleh kebanyakan orang sebagai "pengangguran".
Bahasa halus nya adalah gap year. Entah kenapa, istilah ini menjadi momok yang sangat menakutkan khususnya bagi mereka para kelas 12 yang akan menghadapi berbagai pintu untuk masuk ke tingkat perguruan tinggi.
Momok tersebut seolah menjadi kenyataan yang membawa beban tersendiri pada bulan-bulan seperti ini.

    Ketika membuka pengumuman dan warna merah yang didapatkan, seolah menjadi pemandangan mencekam akan kelamnya masa depan. Lantas terlintas pemikiran,
Tuhan, aku sudah berusaha sekuat tenaga, aku sudah berdoa sepanjang masa, tapi kenapa tak kau kabulkan jua doa saya ?
Mereka yang semasa SMA tak pernah terlihat mengejar asa dapat masuk dengan begitu mudahnya, tapi kenapa terjadi sebaliknya kepada saya ?
Apakah ini hukuman, cobaan, atau ujian ? Apakah Tuhan sudah tidak sayang kepadaku ?

Lihat, setan bisa masuk dengan mudahnya melalui sempitnya celah kegagalan, secara tidak langsung kita mengoreksi keputusan Tuhan, meragukan kredibilitas dan keadilan Tuhan,
bahkan tanpa angin dan tanpa ada hujan, rasa iri dan prasangka buruk kepada teman muncul seketika itu juga padahal bisa saja
usaha orang tersebut lebih besar daripada usaha kita, hanya kita saja yang tidak mengetahuinya.
Emang gimana sih rasanya?
Sedih, iya. Susah, iya. Malu, ini apalagi luar biasa hebat rasanya. Ketika sebagian sibuk dengan tugas maba dan twibbon mereka, sebagian yang lain sibuk merenungi nasib dan enggan bersosial media.
Tuhan tidak sayang ? Bagaimana mungkin Tuhan tidak sayang padahal Ia adalah Maha atas segalanya,teman mu saja merasa kasihan masa Tuhan tidak? Bahkan dari sekian banyak nama Tuhan yang disebut bahkan sampai 2x dalam ibunya al Quran adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
(untuk lebih jauhnya tidak akan saya bahas di sini, Insyaallah lain waktu dan lain tulisan hehe)

Padahal jika mau berpikir ulang dan melihat lebih ke depan, tak hanya stagnan pada satu keadaan, menganggur merupakan hadiah istimewa yang tak di dapatkan oleh setiap manusia. Lho, kok bisa ?
Oke, mudahnya gini ketika sedang chatingan, kita menulis pesan yang begitu panjang. Sebenarnya lebih seneng langsung di balas, Y, Ok, ya,
atau justru lebih seneng ketika udah di read lantas meskipun menunggu sejenak untuk "typing" lalu di jawab dengan panjang kali lebar juga?
Oleh karena itu, bagi yang langsung di jawab doanya, jangan lantas merasa bangga, justru bisa jadi malah "di lulu" oleh Tuhan.
Atau Memang tak ada yang tau sebuah kejadian itu adalah hukuman atau ujian, namun selalu berprasangka baik lah kepada Tuhan dan menganggap ini adalah ujian untuk menaikkan derajat kita.
yang jelas pesan ataupun doa yang kita panjatkan Insyaallah akan selalu di balas entah bagaimanapun caranya, tidak hanya akan di read saja hehe

Bukankah malah bisa untuk cerita kepada teman-teman ataupun istri dan anak kelak di hari tua tentang masa-masa ini? Wah, dulu ayah ndak bisa langsung kuliah tetapi blablabla
Apakah ada bukti konkretnya ? lihat saja mereka yang selama SMA pernah membuat beberapa masalah entah memalukan, menakutkan, maupun mengesankan. Pasti jelas berbeda dengan yang hanya stagnan saja.
Memang saat menjalaninya ketika itu terasa sangat berat, akan tetapi ketika semua sudah berlalu, bukankah hal tersebut malah menjadi cerita yang tak pernah membosankan?
Oleh karenanya, ya harus di syukuri pemberian Tuhan yang satu ini.

Halah, masnya enak ngomongnya, emang situ pernah nglakuin? Wew jangan salah ya, saya bisa bicara karena saya telah mengalaminya (Pernah saya jelaskan dalam tulisan saya bertajuk SNMPTN), yap saya adalah lulusan tahun 2017, meskipun sekarang Alhamdulillah saya sudah diberi
kesempatan oleh Tuhan untuk meneruskan studi di salah satu PTN di Yogyakarta. Namun, hal tersebut tetap tidak lantas menghilangkan titel masa lalu saya sebagai seorang pengangguran
jangan menyerah hanya karena sekali dua kali gagal, karena penulis sendiri sudah mengalami 6x kegagalan secara beruntun. Dan usaha yang ketujuh ternyata baru di ijabah oleh Allah.
kalo seperti kata orang-orang, setiap orang punya jatah gagal. Maka habiskan jatah gagal mu selagi muda. Kalau Gus Dur pernah mengatakan kegagalan itu seperti batu-bata.
semakin banyak yang kau miliki, maka akan semakin megah istana yang bisa kau bangun.

Waduh, gimana ya, aku ketinggalan setahun dari temen-temen yang lain. Eits tunggu dulu, apakah mnurutmu ilmu hanya bisa didapatkan di bangku sekolah/kuliah? Tentu saja tidak,justru selama setahun tidak menempuh studi,
saya malah mendapatkan banyak pelajaran berharga, beberapa sudah saya tuangkan dalam bentuk tulisan sedangkan yang lainnya masih tersimpan dalam memori dan seddang menunggu saat yang tepat untuk dicurahkan.
Silahkan pelajari apa yang bisa dipelajari, ilmu itu luas, saya beri sedikit contoh. Apakah kalian sudah tau apa perbedaan mencolok dari lingkungan di Jalan, Sekolah, dan pasar ?
Apakah hal semacam itu diajari di sekolah ? itu hanya sedikit dari sekian banyaknya ilmu yang telah Tuhan ciptakan.


Memang kita semua tidak dapat mengubah masa lalu, namun bukan berarti tak bisa mengusahakan masa depan bukan ?
Bukankah ketika dilanda masalah Tuhan telah memberi solusi beruba sabar dan sholat ? (makna secara panjang lebar akan saya bahas insyaallah dalam tulisan saya di masa mendatang hehe)
Memang ada peribahasa nasi sudah menjadi bubur, tapi bukankah bubur juga enak? Hanya tinggal dari mana kau memandang masalah tersebut, toh orang sakit pun malah hanya boleh makan bubur saja, justru lebih terasa manfaatnya bukan ?

So, bisa ditarik kesimpulan, Tuhan bukannya membenci ataupun hanya sekedar menyayangi kita sebagai hamba Nya, tetapi Ia justru Sangat Sayang pada kita semua.
Jalan Tuhan memang bukan yang termudah, bukan yang tersingkat, tapi pasti yang terbaik :)

Salam cinta dan kasih dari penulis :))

Yogi Tri Sumarno

04 Mei 2019

0 komentar:

Berbicara tentang kehidupan semua hanya ada istilah ikhtiar dan tawakal. Sering disebutkan bahwa ikhtiar lebih dulu dibandingkan dengan ta...

NKCTHI (Nanti Kita Cerita Tawakkal Harus Ikhtiar)



Berbicara tentang kehidupan semua hanya ada istilah ikhtiar dan tawakal. Sering disebutkan bahwa ikhtiar lebih dulu dibandingkan dengan tawakal. Ketika kita sudah berikhtiar semaksimal mungkin sembari menunggu hasil tawakal menjadi kunci ketenangan jiwa untuk bisa tegar dan tabah dalam menghadapi setiap kemungkinan yang akan didapatkan nantinya. Akan tetapi ada sesuatu yang cukup unik ketika saya mendengarkan sebuah pengajian yang saya lupa siapa pengisinya namun beliau cukup kondang di dunia maya dan tentunya standar keilmuannya tak diragukan. Beliau mengatakan bahwa tawakal lebih didahulukan daripada ikhtiar. Memang cukup unik mengingat hal ini merupakan sebuah pernyataan yang cukup kontradiktif dengan pandangan yang ada di masyarakat. Mungkin jika kita sedikit mengubah sudut pandang bisa saja hal tersebut masuk dalam benak dan logika kita sebagai manusia.

Ada sebuah ungkapan bahwa, “Manusia boleh punya rencana, tapi Tuhan punya kuasa”. Apapun keputusan Tuhan nantinya adalah sesuatu yang absolut dan tidak bisa diganggu gugat. Namun bagaimanapun kita juga tidak tahu apa yang menjadi kehendak Tuhan ketika hal itu belum terjadi. Maksud dari bertawakal kepada Tuhan sebelum ikhtiar adalah sebelum kita memulai semua usaha, sudah harus dipastikan bahwa apapun yang terjadi nanti, baik hasil maupun semua ikhtiar yang akan dilakukan semua adalah kehendak dari Tuhan yang tidak boleh disesali di masa depan. Hal ini tentu akan memberikan efek mental yang baik pada pelakunya karena sebelum dia memulai semua ikhtiarnya sudah tidak ada beban mental dan was-was terhadap hasil yang mungkin mengecewakan. Saya menyetujui hal ini karena memang saya pernah mengalaminya sendiri pada tahun 2019 lalu. Pada saat itu, saya sudah memantapkan hati dan pikiran untuk memasrahkan apapun hasilnya nanti kepada Tuhan. Saya sudah meyakini, Tuhan akan memberi yang terbaik nantinya, usaha seperlunya namun bersungguh-sungguh dan tidak putus asa akan rahmat dan karunia-Nya. Semua usahaku ini nanti Tuhan, semua karena kehendak-Mu, ku pasrahkan semua pada-Mu, kataku dalam hati. Dan ternyata saat menghadapi ujian, soal yang keluar adalah semua materi yang sudah ku pelajari dan anehnya pula, materi yang tidak ku pelajari tidak ada yang keluar. Mungkin anda tidak akan lantas percaya dengan cerita saya ini, namun tidak hanya saya sendiri yang mengalaminya. Akan tetapi, beberapa teman saya pun juga mengatakan hal yang sama meskipun dalam kasus yang berbeda. Mereka awalnya juga tidak percaya dengan cerita ini dan menganggapnya sebagai sebuah bualan belaka, namun ternyata setelah mengalaminya mereka baru membenarkan.

Berkata beliau Bapak KH Marzuki Mustamar bahwa perbedaan orang yang melakukan usaha dengan berdoa dan tidak adalah pada keberkahannya. Jika dari awal sudah kita doakan dan pada akhirnya tidak tercapai apa yang menjadi keinginan kita, namun kita sudah mendapatkan berkah dari doa yang kita panjatkan. Begitu pula sebaliknya ketika kita berhasil mendapatkan apa yang menjadi keinginan namun tidak disertai doa, maka jangan harap mendapatkan berkah dari Tuhan. Berkah itu seperti cinta, dia benar adanya. Dia tidak dapat dilihat dengan mata, diungkapkan dengan kata, namun hanya dapat dirasakan jika anda sendiri pernah mengalaminya. Dengan kita bertawakal sejak awal, secara tidak langsung kita sudah berdoa kepada Tuhan. Tak hanya hasil yang kita doakan, tapi juga usaha yang akan dilakukan. Jika kita bertawakal setelah berusaha maksimal, bukankah usaha itu belum mendapat berkah dari doa? Ya memang semua hanya masalah sudut pandang dan keyakinan. Saya tidak menyuruh para pembaca untuk membenarkan apa yang saya tulis, akan tetapi saya hanya memberikan sudut pandang serta logika yang menurut saya cukup menarik untuk diulas dan disebarluaskan kepada publik. Berbaik sangka kepada takdir Tuhan di masa depan merupakan sebuah kebaikan, menerima semua takdir yang sudah kita lalui juga sebuah kebaikan. Di dunia ini banyak sekali kebaikan yang sering kita lupakan hingga yang kita ingat hanyalah semua ujian yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya. Bukankah nikmat Tuhan lebih banyak daripada ujian dan cobaan-Nya?

Salam cinta dan kasih dari penulis :))

Yogi Tri Sumarno

29 Januari 2020

0 komentar: